Kamis, 22 Desember 2022

      PERAN GURU DALAM MENERAPKAN BUDAYA POSITIF

OLEH                 WELLY JULITA, M.TPd
INSTANSI      :    SMAN 10 KAUR (PENTAGON)

  1. Peran Saya sebagai seorang guru dalam menciptakan budaya positif di sekolah dengan menerapkan konsep-konsep inti seperti disiplin positif, motivasi perilaku manusia (hukuman dan penghargaan), posisi kontrol restitusi, keyakinan  sekolah/kelas, segitiga restitusi dan keterkaitannya dengan materi sebelumnya yaitu Filosofi Pendidikan Nasional Ki Hadjar Dewantara, Nilai dan Peran Guru Penggerak,  serta Visi Guru Penggerak adalah:

Budaya positif adalah perwujudan dari nilai-nilai atau keyakinan universal yang diterapkan di sekolah. Penumbuhan budaya positif diawali dengan pembiasaan perilaku positif yang dibangun dalam waktu lama hingga mengakar dan menjadi sebuah kebiasaan dan akhirnya menjadi sebuah budaya positif. Budaya positif merupakan perubahan paradigma tentang teori kontrol.

Agar guru dapat berperan dalam menumbuhkembangkan budaya positif di sekolah, maka ada baiknya guru memahami kembali tentang konsep inti seperti disiplin positif, posisi kontrol, kebutuhan dasar manusia, segitiga restitusi, Filosofi Pendidikan Nasional Ki Hadjar Dewantara, Nilai dan Peran Guru Penggerak,  serta Visi Guru Penggerak. 

Berdasarkan beberapa penelitian tentang teori kontrol, semua perilaku manusia pasti memiliki tujuan. Begitupula dengan perilaku siswa. Bahkan sebuah kesalahan yang dilakukan siswa pasti memiliki alasan. Alasan tersebut biasa disebut dengan pemenuhan kebutuhan dasar manusia. Ada lima kebutuhan dasar manusia yaitu:

1.      Kebutuhan bertahan hidup (Survival) yaitu kebutuhan berkaitan dengan fisik seperti makan, tidur, tempat tinggal dan lain-lain

2.      Kebutuhan Cinta dan kasih sayang (Penerimaan)

3.      Kebutuhan Penguasaan (pengakuan akan kemampuan)

4.      Kebutuhan Kebebasan (Kebutuhan akan pilihan)

5.      Kebutuhan akan Kesenangan.

Ketika guru sudah mampu memahami kebutuhan dasar setiap siswa, langkah yang dilakukan adalah dengan menerapkan disiplin positif. Selama ini, disiplin dipahami sebagai tindakan untuk membuat siswa patuh pada aturan sekolah dan guru. Ternyata, menurut Diane Gossen dalam bukunya Restructuring School Discipline ada tiga alasan motivasi manusia dalam melakukan sesuatu, yaitu:

1.      untuk menghindari ketidaknyamanan atau hukuman

2.      untuk mendapatkan imbalan atau penghargaan dari orang lain

3.      untuk menjadi orang yang mereka inginkan sesuai dengan nilai-nilai yang diyakini.

Berdasarkan ketiga alasan tersebut, tindakan pendisiplinan dengan  melakukan hukuman atau memberi imbalan bisa disebut motivasi eksternal dan hal tersebut tidak akan bertahan lama. Hukuman dan imbalan memang membuat siswa menjadi patuh, tapi kepatuhan itu hanya sementara dan kedisiplinan yang diterapkan tidak mengubah karakter siswa menjadi lebih kuat. Hal ini pula yang menyebabkan bangsa kita kesulitan dalam membentuk karakter masyarakatnya, contoh kecil seperti budaya antri, menaati aturan lalulintas dan kebersihan lingkungan yang belum bisa menjadi karakter.

Berdasarkan teori motivasi tadi, penerapan disiplin di sekolah harus dilakukan dengan alasan yang ke-3. Siswa melakukan kebaikan sesuai dengan keyakinan kelas atau nilai-nilai yang sudah tertanam dalam dirinya atau motivasi internal. Motivasi internal jangka waktunya lebih lama namun justru membuat siswa makin kuat secara karakter. Hal tersebut sejalan dengan pemikiran Ki Hajar Dewantara yang mengungkapkan bahwa disiplin kepada siswa adalah disiplin diri, sebab hanya diri sendiri yang mampu mengontrol diri kita bukan orang lain. Jika seseorang belum dapat mengontrol dirinya, maka menurut Ki Hajar Dewantara, penerapan disipilin yang dilakukan orang lain tapi dalam situasi merdeka bukan keterpaksaan. Artinya, siswa sendirilah yang menginginkan dirinya menaati peraturan sesuai dengan keyakinan universal atau keyakinan sekolah dan kelas. Keinginan untuk melaksanakan keyakinan universal yang datang dari siswa atau kita sebut motivasi internal tersebut dapat diwujudkan dengan Restitusi.

Restistusi adalah upaya mendisiplinkan siswa tapi dengan cara siswa sendiri yang menyelesaikan masalahnya dan membuat mereka bertindak sesuai dengan keinginan ideal yang didasarkan pada keyakinan kelas.
Hal tersebut tentu akan berjalan dengan semestinya ketika guru menempatkan diri sesuai dengan posisi kontrol yang tepat. Posisi kontrol guru yang terbaik adalah posisi seorang manajer. Di dalam posisi ini, sikap guru ketika melihat siswa melakukan kesalahan:

ü  tidak langsung menghukum atau menasehati, tapi  diawali dengan sikap memahami tindakan siswa bahwa ketika siswa bersalah. Berbuat salah itu adalah hal lumrah dialami setiap orang, karena memang setiap manusia memiliki kesalahan (Menstabilkan Identias),

ü  guru mencoba memahami alasan atau kebutuhan dasar apa yang ingin dipenuhi siswa dengan perilakunya tersebut (Validasi Tindakan yang salah),

ü  selanjutnya, siswa diingatkan tentang keyakinan kelas dan dipancing dengan pertanyaan tentang bagaimana seharusnya sikap mereka menurut keyakinan kelas dan jawabannya datang dari siswa sendiri. Kemudian baru ditanyakan solusi terbaik menurut siswa tersebut yang berdasarkan keyakinan tadi (Menanyakan Keyakinan).

Saat guru bertindak sebagai seorang manajer, tentu tidak bersikap emosional, tidak juga merasa bahwa guru yang paling benar dan siswa harus mengikuti aturan guru. Tetapi guru harus bersikap arif dan bijaksana, mengayomi, lebih kepada teman diskusi sekaligus guru yang mengajak siswa menyadari dan mengakui kesalahannya, kemudian menayakan keyakinan kelas dan menggiring siswa menemukan alternatif penyelesaian atas masalahnya dan membuat siswa lebih percaya diri karenanya.

Jika siswa bersalah sebenarnya gampang saja menyuruh mereka meminta maaf kemudian menjalankan hukuman yang kita berikan, siswa pun menuruti kemauan guru. Dengan seperti itu seolah masalah selesai. Akan tetapi, sesuai dengan filosofi pendidikan Ki Hajar Dewantara bahwa pendidikan adalah tempat menyemai benih kebudayaan. Kebudayaan dibentuk dari kebiasaan dan menjadi karakter. Diharapkan dampaknya lama, jangka panjang. Pendidikan sejatinya mampu menumbuhkan manusia-manusia terbaik yang berpegang pada nilai-nilai keyakinan yang memiliki kemerdekaan jiwa, bukan hanya membentuk generasi yang patuh karena tekanan dan aturan tapi jika menghendaki siswa patuh pun karena mereka mematuhi keyakinan dan nilai-nilai yang mereka pegang sendiri bukan aturan yang guru atau sekolah paksakan.
Oleh karena itu, restitusi adalah sebuah upaya untuk membuat siswa mampu mengevaluasi diri mereka sendiri agar menjadi manusia yang baik sesuai dengan nilai-nilai kebajikan universal dan sebuah upaya agar setiap kesalahan yang dilakukannya menjadi bahan pembelajaran agar dirinya menjadi lebih baik, menjadi lebih kuat karakternya dan penghargaan pada diri mereka sendiri pun menjadi bertambah.
Dengan penjelasan di atas, diharapkan budaya positif  di sekolah dapat terlaksana dan sekolah sebagai tempat menyemai benih kebudayaan atau pembentukan karakter dapat terwujud.

  1. Buatlah sebuah refleksi dari pemahaman Anda atas keseluruhan materi Modul Budaya Positif ini dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut ini:

1.4.a.6.1 Refleksi - Budaya Positif

v  Sejauh mana pemahaman Anda tentang konsep-konsep inti yang telah Anda pelajari di modul ini, yaitu: disiplin positif, teori kontrol,  teori motivasi, hukuman dan penghargaan, posisi kontrol guru, kebutuhan dasar manusia, keyakinan kelas, dan segitiga restitusi. Adakah hal-hal yang menarik untuk Anda dan di luar dugaan?

v  Budaya positif adalah perwujudan dari nilai-nilai atau keyakinan universal yang diterapkan di sekolah. Penumbuhan budaya positif diawali dengan pembiasaan perilaku positif yang dibangun dalam waktu lama hingga mengakar dan menjadi sebuah kebiasaan dan akhirnya menjadi sebuah budaya positif.

v  Teori Motivasi, tindakan pendisiplinan dengan  melakukan hukuman atau memberi imbalan bisa disebut motivasi eksternal dan hal tersebut tidak akan bertahan lama. Hukuman dan imbalan memang membuat siswa menjadi patuh, tapi kepatuhan itu hanya sementara dan kedisiplinan yang diterapkan tidak mengubah karakter siswa menjadi lebih kuat.

v  Posisi kontrol adalah salah satu trategi untuk mendisiplinkan murid dengan terlebih dahulu mengubah paradigma dan kerangka acuan seperti bagaimana melihat dunia, berpikir tentang manusia, dan aspek-aspek tetentu berdasarkan realistis, baru kemudian guru bisa melakukan control terhadap murid.

v  Kebutuhan dasar manusia seperti kebutuhan bertahan hidup, cinta dan kasih sayang, penguasaan, kebebasan, dan kesenangan.

v  Keyakinan kelas adalah bukan serangkaian peraturan tetapi lebih kepada keyakinan pada pernyataan yang diyakini kalau dilaksanakan akan lebih memotivasi secara intrinsik dan bernilai positif.

v  Segitiga restitusi adalah disiplin positif yang penekanannya agar lebih menghargai nilai-nilai kebijakan dan memperbaiki kesalahan apabila murid melakukan kesalahan agar mereka kembali kepada kelompoknya dengan karakter dan perilaku yang lebih baik.

Ada banyak hal menarik dan di luar dugaan terjadi ketika mempelajari dan menerapkan budaya positif baik di kelas maupun di lingkungan sekolah. Kesemuanya adalah pengalaman menarik, sayang untuk dilewatkan.

  1. Perubahan apa yang terjadi pada cara berpikir Anda dalam menciptakan budaya positif di kelas maupun sekolah Anda setelah mempelajari modul ini?

Memandang dan memperlakukan siswa lebih bijak, lebih arif dalam bertindak dan lebih sabar menghadapi karakter siswa yang beragam. Bahwa setiap siswa itu pernah berbuat salah dan setiap siswa juga berhak untuk menjadi baik. Seyogyanya guru memposisikan diri sebagai seorang manajer baik di kelas maupun di lingkungan sekolah, agar kebiasaan dan karakter positif itu mengakar menjadi keyakinan dan budaya positif.

  1. Pengalaman seperti apakah yang pernah Anda alami terkait penerapan konsep-konsep inti dalam modul Budaya Positif baik di lingkup kelas maupun sekolah Anda?

Selain seorang guru di kelas saya juga diberi amanah sebagai wakil kepala sekolah bidang kesiswaan. Tentu banyak pengalaman dan kasus yang saya bantu pecahkan bersama teman-teman di sekolah. Pengalaman saya menggunakan konsep inti adalah ketika mendapati siswa yang terlambat mengumpulkan tugas-tugas di kelas yang saya ampu dan menangani siswa-siswi yang bermasalah di sekolah, berdasarkan laporan kepala asrama, Student Advisor (sebutan untuk pembimbing siswa sebanyak 1 sampai 13 orang siswa untuk 3 angkatan berbeda-pada sekolah asrama Pentagon) dan wali kelas di lingkup sekolah.  

Pada posisi Wakil kepala sekolah, saya berperan sebagai pemantau jika kasusnya bisa ditangani oleh pihak asrama dan wali kelas/Student Advisor, karena saya ingin menerapkan prinsip manajerial, hierarki atas penyelesaian masalah. Namun jika masalah itu tidak bisa ditangani lagi oleh asrama atau wali kelas/SA atau harus melibatkan wakil kepala sekolah dan untuk kasus di kelas saya, maka posisi yang saya lakukan adalah sebagai manajerial. Punketika siswa-siswi yang telah selesai ditangani oleh pihak asrama dan Wali kelas/SA maka anaknya akan saya panggil dan saya bertindak sebagai seorang manajer untuk penguatan karakter mereka. Menstabilkan identitas, memvalidasi tindakan siswa dan menanyakan keyakinan hingga akhirnya siswa kembali ke kelas dengan perilaku dan semangat yang baik.

  1. Bagaimanakah perasaan Anda ketika mengalami hal-hal tersebut?

Perasaan saya saat itu adalah sangat senang dan berbeda dari sebelumnya tetapi saya sangat senang dan bahagia melakukannya dan berada pada posisi itu. Saya merasa saya lebih bijak, lebih arif dan bisa menjadi teman diskusi bagi siswa indisiplin tersebut.

 

  1. Sebelum mempelajari modul ini, ketika berinteraksi dengan murid, berdasarkan 5 posisi kontrol, posisi manakah yang paling sering Anda pakai, dan bagaimana perasaan Anda saat itu? Setelah mempelajari modul ini,  posisi apa yang Anda pakai, dan bagaimana perasaan Anda sekarang? Apa perbedaannya? 

Sebelum mempelajari modul ini, Posisi pemantau dan pembuat rasa bersalah yang paling sering saya lakukan. Perasaan saya saat itu kesal dan sedih, serta berusaha bagaimana caranya siswa menyadari kesalahannya dan berubah menjadi baik, disiplin.

Setelah mempelajari modul ini, posisi yang saya pakai adalah sebagai manajer. Perasaan saya senang, lebih arif dan bijaksana. Perbedaannya ada pada rasa dan sikap serta langkah yang diambil dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi siswa.

 

  1. Sebelum mempelajari modul ini, pernahkah Anda menerapkan segitiga restitusi ketika menghadapi permasalahan murid Anda? Jika iya, tahap mana yang Anda praktekkan dan bagaimana Anda mempraktekkannya?

Pernah, ketika siswa tidak mengumpulkan tugas. Posisi saya waktu itu sebagai Pembuat rasa bersalah. Saya panggil siswa tersebut, saya tanyakan mengapa dia tidak mengumpulkan tugas, sudah berapa kali tidak membuat tugas, menanyakan alasan mengapa ia tidak mengumpulkan tugas. Menanyakan kepada siswa tersebut apakah penjelasan yang saya berikan kurang jelas, apakah waktu yang saya berikan terlalu singkat baginya sementara dengan waktu yang diberikan semua teman-temannya bisa mengumpulkan tepat waktu bahkan ada yang di awal waktu, apakah tugas yang saya berikan berbeda dari teman-temannya, apakah saya tidak pernah mengoreksi atau tidak pernah menghargai sedikit saja hasil pekerjaannya dan siswa lain sehingga dia sampai tidak mengerjakan tugasnya. Di akhir saya  menyuruh siswa tersebut membuat tugasnya dan mengumpulkan tugas tersebut dalam waktu yang disepakati bersama.

 

  1. Selain konsep-konsep yang disampaikan dalam modul ini, adakah hal-hal lain yang menurut Anda penting untuk dipelajari dalam proses menciptakan budaya positif baik di lingkungan kelas maupun sekolah?

v  Ada. Melakukan refleksi, diseminasi dan keyakinan sekolah tentang disiplin dan budaya positif sekolah dengan kepala sekolah dan rekan sejawat.

 

  1. Menurut Anda, terkait pengalaman dalam penerapan konsep-konsep tersebut, hal apa sajakah yang sudah baik? Adakah yang perlu diperbaiki?

Hal-hal yang sudah baik adalah sikap dan perlakuan guru ke siswa dan siswa ke guru. Menjadi komunikatif dan apresitif ketika posisi menejer dijalankan.

Ada hal yang perlu diperbaiki yakni keyakinan kelas, paradigma rekan sejawat terhadap hukuman dan imbalan, serta dalam penerapan budaya positif kelas dan sekolah.