PERAN GURU DALAM MENERAPKAN BUDAYA POSITIF
OLEH : WELLY JULITA, M.TPd
INSTANSI : SMAN 10 KAUR (PENTAGON)
- Peran Saya sebagai seorang guru dalam
menciptakan budaya positif di sekolah dengan menerapkan konsep-konsep inti
seperti disiplin positif, motivasi perilaku manusia (hukuman dan
penghargaan), posisi kontrol restitusi, keyakinan sekolah/kelas,
segitiga restitusi dan keterkaitannya dengan materi sebelumnya yaitu
Filosofi Pendidikan Nasional Ki Hadjar Dewantara, Nilai dan Peran Guru
Penggerak, serta Visi Guru Penggerak adalah:
Budaya positif adalah perwujudan dari nilai-nilai atau keyakinan universal
yang diterapkan di sekolah. Penumbuhan budaya positif diawali dengan pembiasaan
perilaku positif yang dibangun dalam waktu lama hingga mengakar dan menjadi
sebuah kebiasaan dan akhirnya menjadi sebuah budaya positif. Budaya positif
merupakan perubahan paradigma tentang teori kontrol.
Agar guru dapat berperan dalam menumbuhkembangkan budaya positif di sekolah,
maka ada baiknya guru memahami kembali tentang konsep
inti seperti disiplin positif, posisi kontrol, kebutuhan dasar
manusia, segitiga restitusi, Filosofi Pendidikan Nasional Ki Hadjar
Dewantara, Nilai dan Peran Guru Penggerak, serta Visi Guru
Penggerak.
Berdasarkan beberapa penelitian tentang teori kontrol, semua perilaku
manusia pasti memiliki tujuan. Begitupula dengan perilaku siswa. Bahkan sebuah
kesalahan yang dilakukan siswa pasti memiliki alasan. Alasan tersebut biasa
disebut dengan pemenuhan kebutuhan dasar manusia. Ada lima kebutuhan dasar
manusia yaitu:
1. Kebutuhan bertahan hidup (Survival) yaitu kebutuhan berkaitan dengan fisik
seperti makan, tidur, tempat tinggal dan lain-lain
2. Kebutuhan Cinta dan kasih sayang (Penerimaan)
3. Kebutuhan Penguasaan (pengakuan akan kemampuan)
4. Kebutuhan Kebebasan (Kebutuhan akan pilihan)
5. Kebutuhan akan Kesenangan.
Ketika guru sudah mampu memahami kebutuhan dasar setiap siswa, langkah yang
dilakukan adalah dengan menerapkan disiplin positif. Selama ini, disiplin
dipahami sebagai tindakan untuk membuat siswa patuh pada aturan sekolah dan
guru. Ternyata, menurut Diane Gossen dalam bukunya Restructuring School Discipline ada
tiga alasan motivasi manusia dalam melakukan sesuatu, yaitu:
1. untuk menghindari ketidaknyamanan atau hukuman
2. untuk mendapatkan imbalan atau penghargaan dari orang lain
3. untuk menjadi orang yang mereka inginkan sesuai dengan nilai-nilai yang
diyakini.
Berdasarkan ketiga alasan tersebut, tindakan pendisiplinan dengan melakukan hukuman atau memberi imbalan bisa
disebut motivasi eksternal dan hal tersebut tidak akan bertahan lama. Hukuman
dan imbalan memang membuat siswa menjadi patuh, tapi kepatuhan itu hanya
sementara dan kedisiplinan yang diterapkan tidak mengubah karakter siswa
menjadi lebih kuat. Hal ini pula yang menyebabkan bangsa kita kesulitan dalam
membentuk karakter masyarakatnya, contoh kecil seperti budaya antri, menaati
aturan lalulintas dan kebersihan lingkungan yang belum bisa menjadi karakter.
Berdasarkan teori motivasi tadi, penerapan disiplin di sekolah harus
dilakukan dengan alasan yang ke-3. Siswa melakukan kebaikan sesuai dengan
keyakinan kelas atau nilai-nilai yang sudah tertanam dalam dirinya atau
motivasi internal. Motivasi internal jangka waktunya lebih lama namun justru membuat
siswa makin kuat secara karakter. Hal tersebut sejalan dengan pemikiran Ki
Hajar Dewantara yang mengungkapkan bahwa disiplin kepada siswa adalah disiplin
diri, sebab hanya diri sendiri yang mampu mengontrol diri kita bukan orang
lain. Jika seseorang belum dapat mengontrol dirinya, maka menurut Ki Hajar
Dewantara, penerapan disipilin yang dilakukan orang lain tapi dalam situasi
merdeka bukan keterpaksaan. Artinya, siswa sendirilah yang menginginkan dirinya
menaati peraturan sesuai dengan keyakinan universal atau keyakinan sekolah dan
kelas. Keinginan untuk melaksanakan keyakinan universal yang datang dari siswa
atau kita sebut motivasi internal tersebut dapat diwujudkan dengan Restitusi.
Restistusi adalah upaya mendisiplinkan siswa tapi dengan cara siswa sendiri yang
menyelesaikan masalahnya dan membuat mereka bertindak sesuai dengan keinginan
ideal yang didasarkan pada keyakinan kelas.
Hal tersebut tentu akan berjalan dengan semestinya ketika guru menempatkan diri
sesuai dengan posisi kontrol yang tepat. Posisi
kontrol guru yang terbaik adalah posisi seorang manajer. Di dalam posisi
ini, sikap guru ketika melihat siswa melakukan kesalahan:
ü tidak langsung menghukum atau menasehati, tapi diawali dengan sikap
memahami tindakan siswa bahwa ketika siswa bersalah. Berbuat salah itu adalah
hal lumrah dialami setiap orang, karena memang setiap manusia memiliki kesalahan
(Menstabilkan Identias),
ü guru mencoba memahami alasan atau kebutuhan dasar apa yang ingin dipenuhi
siswa dengan perilakunya tersebut (Validasi
Tindakan yang salah),
ü selanjutnya, siswa diingatkan tentang keyakinan kelas dan dipancing dengan
pertanyaan tentang bagaimana seharusnya sikap mereka menurut keyakinan kelas dan
jawabannya datang dari siswa sendiri. Kemudian baru ditanyakan solusi terbaik
menurut siswa tersebut yang berdasarkan keyakinan tadi (Menanyakan Keyakinan).
Saat guru bertindak sebagai seorang manajer, tentu tidak bersikap
emosional, tidak juga merasa bahwa guru yang paling benar dan siswa harus
mengikuti aturan guru. Tetapi guru harus bersikap arif dan bijaksana,
mengayomi, lebih kepada teman diskusi sekaligus guru yang mengajak siswa menyadari
dan mengakui kesalahannya, kemudian menayakan keyakinan kelas dan menggiring
siswa menemukan alternatif penyelesaian atas masalahnya dan membuat siswa lebih
percaya diri karenanya.
Jika siswa bersalah sebenarnya gampang saja menyuruh mereka meminta maaf
kemudian menjalankan hukuman yang kita berikan, siswa pun menuruti kemauan
guru. Dengan seperti itu seolah masalah selesai. Akan tetapi, sesuai dengan
filosofi pendidikan Ki Hajar Dewantara bahwa pendidikan adalah tempat menyemai
benih kebudayaan. Kebudayaan dibentuk dari kebiasaan dan menjadi karakter.
Diharapkan dampaknya lama, jangka panjang. Pendidikan sejatinya mampu menumbuhkan
manusia-manusia terbaik yang berpegang pada nilai-nilai keyakinan yang memiliki
kemerdekaan jiwa, bukan hanya membentuk generasi yang patuh karena tekanan dan
aturan tapi jika menghendaki siswa patuh pun karena mereka mematuhi keyakinan
dan nilai-nilai yang mereka pegang sendiri bukan aturan yang guru atau sekolah
paksakan.
Oleh karena itu, restitusi adalah sebuah upaya untuk membuat siswa mampu
mengevaluasi diri mereka sendiri agar menjadi manusia yang baik sesuai dengan
nilai-nilai kebajikan universal dan sebuah upaya agar setiap kesalahan yang
dilakukannya menjadi bahan pembelajaran agar dirinya menjadi lebih baik,
menjadi lebih kuat karakternya dan penghargaan pada diri mereka sendiri pun
menjadi bertambah.
Dengan penjelasan di atas, diharapkan budaya positif di sekolah dapat terlaksana
dan sekolah sebagai tempat menyemai benih kebudayaan atau pembentukan karakter
dapat terwujud.
- Buatlah sebuah refleksi dari pemahaman
Anda atas keseluruhan materi Modul Budaya Positif ini dengan menjawab
pertanyaan-pertanyaan berikut ini:
1.4.a.6.1 Refleksi - Budaya
Positif
v Sejauh mana pemahaman Anda tentang konsep-konsep inti yang telah Anda
pelajari di modul ini, yaitu: disiplin positif, teori kontrol, teori
motivasi, hukuman dan penghargaan, posisi kontrol guru, kebutuhan dasar
manusia, keyakinan kelas, dan segitiga restitusi. Adakah hal-hal yang menarik
untuk Anda dan di luar dugaan?
v Budaya positif adalah perwujudan dari nilai-nilai atau keyakinan universal yang
diterapkan di sekolah. Penumbuhan budaya positif diawali dengan pembiasaan
perilaku positif yang dibangun dalam waktu lama hingga mengakar dan menjadi
sebuah kebiasaan dan akhirnya menjadi sebuah budaya positif.
v Teori Motivasi, tindakan pendisiplinan dengan melakukan
hukuman atau memberi imbalan bisa disebut motivasi eksternal dan hal tersebut
tidak akan bertahan lama. Hukuman dan imbalan memang membuat siswa menjadi
patuh, tapi kepatuhan itu hanya sementara dan kedisiplinan yang diterapkan
tidak mengubah karakter siswa menjadi lebih kuat.
v Posisi kontrol adalah salah satu trategi untuk
mendisiplinkan murid dengan terlebih dahulu mengubah paradigma dan kerangka
acuan seperti bagaimana melihat dunia, berpikir tentang manusia, dan
aspek-aspek tetentu berdasarkan realistis, baru kemudian guru bisa melakukan
control terhadap murid.
v Kebutuhan dasar manusia seperti kebutuhan bertahan
hidup, cinta dan kasih sayang, penguasaan, kebebasan, dan kesenangan.
v Keyakinan kelas adalah bukan serangkaian peraturan tetapi
lebih kepada keyakinan pada pernyataan yang diyakini kalau dilaksanakan akan lebih
memotivasi secara intrinsik dan bernilai positif.
v Segitiga restitusi adalah disiplin positif yang
penekanannya agar lebih menghargai nilai-nilai kebijakan dan memperbaiki
kesalahan apabila murid melakukan kesalahan agar mereka kembali kepada
kelompoknya dengan karakter dan perilaku yang lebih baik.
Ada banyak hal menarik dan di luar dugaan terjadi ketika mempelajari dan
menerapkan budaya positif baik di kelas maupun di lingkungan sekolah. Kesemuanya
adalah pengalaman menarik, sayang untuk dilewatkan.
- Perubahan apa yang terjadi pada cara
berpikir Anda dalam menciptakan budaya positif di kelas maupun sekolah
Anda setelah mempelajari modul ini?
Memandang dan memperlakukan siswa lebih bijak,
lebih arif dalam bertindak dan lebih sabar menghadapi karakter siswa yang
beragam. Bahwa setiap siswa itu pernah berbuat salah dan setiap siswa juga
berhak untuk menjadi baik. Seyogyanya guru memposisikan diri sebagai seorang
manajer baik di kelas maupun di lingkungan sekolah, agar kebiasaan dan karakter
positif itu mengakar menjadi keyakinan dan budaya positif.
- Pengalaman seperti apakah yang
pernah Anda alami terkait penerapan konsep-konsep inti dalam modul
Budaya Positif baik di lingkup kelas maupun sekolah Anda?
Selain seorang guru di kelas saya juga diberi amanah sebagai wakil kepala
sekolah bidang kesiswaan. Tentu banyak pengalaman dan kasus yang saya bantu
pecahkan bersama teman-teman di sekolah. Pengalaman saya menggunakan konsep inti
adalah ketika mendapati siswa yang terlambat mengumpulkan tugas-tugas di kelas
yang saya ampu dan menangani siswa-siswi yang bermasalah di sekolah,
berdasarkan laporan kepala asrama, Student
Advisor (sebutan untuk pembimbing siswa sebanyak 1 sampai 13 orang siswa
untuk 3 angkatan berbeda-pada sekolah asrama Pentagon) dan wali kelas di lingkup
sekolah.
Pada posisi Wakil kepala sekolah, saya berperan sebagai pemantau jika kasusnya
bisa ditangani oleh pihak asrama dan wali kelas/Student Advisor, karena saya ingin menerapkan prinsip manajerial,
hierarki atas penyelesaian masalah. Namun jika masalah itu tidak bisa ditangani
lagi oleh asrama atau wali kelas/SA atau harus melibatkan wakil kepala sekolah dan
untuk kasus di kelas saya, maka posisi yang saya lakukan adalah sebagai
manajerial. Punketika siswa-siswi yang telah selesai ditangani oleh pihak
asrama dan Wali kelas/SA maka anaknya akan saya panggil dan saya bertindak
sebagai seorang manajer untuk penguatan karakter mereka. Menstabilkan
identitas, memvalidasi tindakan siswa dan menanyakan keyakinan hingga akhirnya
siswa kembali ke kelas dengan perilaku dan semangat yang baik.
- Bagaimanakah perasaan Anda ketika
mengalami hal-hal tersebut?
Perasaan saya saat itu adalah sangat senang dan
berbeda dari sebelumnya tetapi saya sangat senang dan bahagia melakukannya dan
berada pada posisi itu. Saya merasa saya lebih bijak, lebih arif dan bisa
menjadi teman diskusi bagi siswa indisiplin tersebut.
- Sebelum mempelajari modul ini, ketika
berinteraksi dengan murid, berdasarkan 5 posisi kontrol, posisi manakah
yang paling sering Anda pakai, dan bagaimana perasaan Anda saat itu?
Setelah mempelajari modul ini, posisi apa yang Anda pakai, dan
bagaimana perasaan Anda sekarang? Apa perbedaannya?
Sebelum mempelajari modul ini, Posisi
pemantau dan pembuat rasa bersalah yang paling sering saya lakukan. Perasaan saya
saat itu kesal dan sedih, serta berusaha bagaimana caranya siswa menyadari kesalahannya
dan berubah menjadi baik, disiplin.
Setelah mempelajari modul ini, posisi yang saya pakai adalah sebagai
manajer. Perasaan saya senang, lebih arif dan bijaksana. Perbedaannya ada pada
rasa dan sikap serta langkah yang diambil dalam menyelesaikan masalah yang
dihadapi siswa.
- Sebelum mempelajari modul ini,
pernahkah Anda menerapkan segitiga restitusi ketika menghadapi
permasalahan murid Anda? Jika iya, tahap mana yang Anda praktekkan dan
bagaimana Anda mempraktekkannya?
Pernah, ketika siswa tidak mengumpulkan tugas. Posisi saya waktu itu sebagai
Pembuat rasa bersalah. Saya panggil siswa tersebut, saya tanyakan mengapa dia
tidak mengumpulkan tugas, sudah berapa kali tidak membuat tugas, menanyakan alasan
mengapa ia tidak mengumpulkan tugas. Menanyakan kepada siswa tersebut apakah
penjelasan yang saya berikan kurang jelas, apakah waktu yang saya berikan
terlalu singkat baginya sementara dengan waktu yang diberikan semua
teman-temannya bisa mengumpulkan tepat waktu bahkan ada yang di awal waktu, apakah
tugas yang saya berikan berbeda dari teman-temannya, apakah saya tidak pernah
mengoreksi atau tidak pernah menghargai sedikit saja hasil pekerjaannya dan siswa
lain sehingga dia sampai tidak mengerjakan tugasnya. Di akhir saya menyuruh siswa tersebut membuat tugasnya dan
mengumpulkan tugas tersebut dalam waktu yang disepakati bersama.
- Selain konsep-konsep yang disampaikan
dalam modul ini, adakah hal-hal lain yang menurut Anda penting untuk
dipelajari dalam proses menciptakan budaya positif baik di lingkungan
kelas maupun sekolah?
v Ada. Melakukan refleksi, diseminasi dan keyakinan sekolah tentang disiplin dan
budaya positif sekolah dengan kepala sekolah dan rekan sejawat.
- Menurut Anda, terkait pengalaman dalam
penerapan konsep-konsep tersebut, hal apa sajakah yang sudah baik? Adakah
yang perlu diperbaiki?
Hal-hal yang sudah baik adalah sikap dan perlakuan guru ke siswa dan siswa
ke guru. Menjadi komunikatif dan apresitif ketika posisi menejer dijalankan.
Ada hal yang perlu diperbaiki yakni keyakinan kelas, paradigma rekan
sejawat terhadap hukuman dan imbalan, serta dalam penerapan budaya positif
kelas dan sekolah.
menarik dan menantang untuk diterapkan
BalasHapus