(Pembelajaran Berdiferensiasi, Pembelajaran Sosial Emosional dan Peran Guru sebagai Pemimpin Pembelajaran)
Oleh: Welly Julita, M.TPd
A. KESIMPULAN
Ø Pembelajaran Coaching untuk
Supervisi Akademik
Seorang guru penggerak harus mampu menjalankan
perannya. Peran yang dimaksud adalah: 1) Menjadi Pemimpin
Pembelajaran, 2) Menjadi Coach Bagi
Guru Lain, 3) Mendorong kolaborasi, 4) Mewujudkan Kepemimpinan Murid (Student Agency), 5)
Menggerakkan Komunitas Praktisi. Lima peran guru penggerak yang sejalan dan
selaras dengan modul 2.3 Coaching untuk
supervisi akademik adalah peran yang ke-2 yaitu menjadi coach bagi guru lain.
Supervisi akademik di sekolah sering diasumsikan
sebagai suatu kegiatan observasi atau penilaian terhadap kinerja guru.
Sehingga kata supervisi identik menjadi sebuah kegiatan kekurangan guru dan
guru merasa terbebani ketika guru tersebut disupervisi.
Coaching didefinisikan
sebagai sebuah proses kolaborasi yang berfokus pada solusi, berorientasi pada
hasil dan sistematis, dimana coach memfasilitasi
peningkatan atas performa kerja, pengalaman hidup, pembelajaran diri, dan
pertumbuhan pribadi dari coachee (Grant,
1999). Sedangkan Whitmore (2003) mendefinisikan coaching sebagai kunci
pembuka potensi seseorang untuk untuk memaksimalkan kinerjanya. Sejalan
dengan pendapat para ahli tersebut, International
Coach Federation (ICF) mendefinisikan coaching sebagai “…bentuk
kemitraan bersama klien (coachee) untuk
memaksimalkan potensi pribadi dan profesional yang dimilikinya melalui proses
yang menstimulasi dan mengeksplorasi pemikiran dan proses kreatif.”
Beberapa defisini mengenai coaching di atas dapat
saya simpulkan bahwa coaching merupakan
sebuah kegiatan untuk mencapai kondisi kemajuan, coaching meningkatkan
kompetensi personal dan profesional, coaching bukan
kegiatan memberi tahu, melainkan kegiatan menanya (asking) untuk membangkitkan motivasi (belum mau
menjadi mau, belum sadar menjadi sadar). Seorang coach dalam kegiatan coaching menggali dan
memotivasi solusi dari masalah yang dialami coachee. Kegiatan coaching diharapkan coachee menemukan solusi
dari masalah yang dialami dengan kembali sadar dan tanpa ajakan maupun paksaan
dari seorang coach (mandiri).
Ø Paradigma,
Prinsip, Kompetensi Inti Coaching
Agar menjadi seorang coach yang
baik seorang guru harus menerapkan dan memiliki pemikiran dalam beberapa hal,
diantaranya adalah paradigma berfikir coaching dan prinsip coaching.
Ø Paradigma
berfikir coaching;
- Fokus pada coachee/rekan
yang akan dikembangkan,
- Bersikap terbuka dan ingin
tahu,
- Memiliki kesadaran diri
yang kuat,
- Mampu melihat peluang baru
dan masa depan
Ø Prinsip coaching
- Kemitraan
- Proses kreatif
- Memaksimalkan potensi
Selain kedua hal diatas yang perlu dimiliki dan
diterapkan, untuk dapat melakukan proses coaching dengan baik seorang guru harus
memiliki 3 kompetensi inti coaching yang
ada yaitu:
- Kehadiran
Penuh/Presence
Kehadiran penuh/presence adalah kemampuan untuk bisa hadir
utuh bagi coachee (coaching presence) sehingga badan, pikiran, hati selaras saat sedang
melakukan percakapan coaching.
Kehadiran penuh ini adalah bagian dari kesadaran diri yang akan membantu
munculnya paradigma berpikir dan kompetensi lain saat kita melakukan
percakapan coaching.
- Mendengarkan
Aktif
Salah satu keterampilan utama dalam coaching adalah
keterampilan mendengarkan dengan aktif atau sering kita sebut dengan
menyimak. Seorang coach yang
baik akan mendengarkan lebih banyak dan lebih sedikit berbicara. Dalam
percakapan coaching,
fokus dan pusat komunikasi adalah pada diri coachee, yakni mitra bicara. Dalam hal ini,
seorang coach harus
dapat mengesampingkan agenda pribadi atau apa yang ada di pikirannya termasuk
penilaian terhadap coachee.
3. Mengajukan Pertanyaan Berbobot
Dalam melakukan percakapan coaching ketrampilan kunci
lainnya adalah mengajukan pertanyaan dengan tujuan tertentu atau pertanyaan
berbobot. Pertanyaan yang diajukan seorang coach diharapkan menggugah
orang untuk berpikir dan dapat menstimulasi pemikiran coachee, memunculkan hal-hal
yang mungkin belum terpikirkan sebelumnya, mengungkapkan emosi atau nilai dalam
diri dan yang dapat mendorong coachee untuk
membuat sebuah aksi bagi pengembangan diri dan kompetensi. Pertanyaan
berbobot kepada coachee adalah
merupakan hasil dari mendengarkan aktif yaitu R-A-S-A. RASA merupakan
akronim dari Receive, Appreciate, Summarize, dan Ask.
Ø Alur
Percakapan T-I-R-T-A
TIRTA dikembangkan dari satu model umum coaching
yang dikenal sangat luas dan telah banyak diaplikasikan, yaitu GROW model.
TIRTA dapat
dijelaskan sebagai berikut:
1.
Tujuan Umum (Tahap awal dimana
kedua pihak coach dan coachee menyepakati tujuan
pembicaraan yang akan berlangsung. Idealnya tujuan ini datang dari coachee)
2.
Identifikasi (Coach melakukan
penggalian dan pemetaan situasi yang sedang dibicarakan, dan menghubungkan
dengan fakta-fakta yang ada pada saat sesi)
3.
Rencana
Aksi (Pengembangan ide atau alternatif solusi untuk rencana yang akan dibuat)
4.
TAnggungjawab (Membuat komitmen
atas hasil yang dicapai dan untuk langkah selanjutnya).
Ø Keterkaitan Coaching dengan
Pembelajaran Berdiferensiasi Dan Pembelajaran Soial Emosional
Setelah mempelajari modul
ini, saya menjadi semakin tercerahkan dan termotivasi untuk menerapkan prinsip
coaching dalam membantu rekan sejawat untuk menemukan solusi atas permasalahan
yang dihadapi. Saya meyakini bahwa dengan menerapkan paradigma berfikir coaching dalam
penyelesaian masalah yang dihadapi rekan sejawat, mereka akan lebih terbuka,
tidak merasa malu menguraikan permasalahan yang dihadapi dan merefleksi diri.
Selanjutnya adalah keterkaitan coaching dengan
pembelajaran pada modul sebelumnya.
- Keterkaitan coaching degan
pembelajaran berdiferensiasi
Pembelajaran berdiferensiasi adalah serangkaian
keputusan masuk akal (common
sense) yang dibuat oleh guru yang berorientasi kepada kebutuhan
murid. Sesuai dengan definisi pembelajaran berdiferensiasi tersebut dapat
diasumsikan bahwa paradigma coaching dan
prinsip coaching dapat
diterapkan untuk menyelesaikan permasalahan pembelajaran. Selain itu dengan
menerapkan coaching sebagai
sebuah pendekatan pembelajaran untuk memenuhi kebutuhan belajar murid adalah
suatu hal yang dapat dilakukan dan efektif untuk mencapai hasil yang
diinginkan.
Untuk menyusun dan melaksanakan proses pembelajaran, guru akan mengarahkan murid untuk menemukan, menentukan/memilih kebutuhan belajarnya. Murid dimampukan untuk dapat belajar sesuai dengan gaya belajar, kemampuan belajar, bakat dan minat yang dimiliki. Dengan demikian pembelajaran dapat berjalan baik dan murid merasa nyaman dengan proses belajar yang mereka lakukan.
- Keterkaitan coaching dengan
pembelajaran sosial emosional
Pembelajaran Sosial dan Emosional (PSE) adalah
pembelajaran yang dilakukan secara kolaboratif oleh seluruh komunitas sekolah.
Proses kolaborasi ini memungkinkan anak dan orang dewasa di sekolah memperoleh
dan menerapkan pengetahuan, keterampilan dan sikap positif mengenai aspek
sosial dan emosional agar dapat:
A. Memahami, menghayati, dan
mengelola emosi (kesadaran diri)
B. Menetapkan dan mencapai tujuan
positif (pengelolaan diri)
C. Merasakan dan menunjukkan empati
kepada orang lain (kesadaran sosial)
D. Membangun dan mempertahankan
hubungan yang positif (keterampilan berelasi)
E. Membuat keputusan yang
bertanggung jawab. (pengambilan keputusan yang bertanggung jawab)
Lima kompetensi sosial emosional yang dipelajari
pada modul sebelumnya menjadi sebuah dasar seorang guru agar dapat menguasai
tiga kompetensi coaching yang
ada. Sehingga pembelajaran sosial emosional sangat penting dan perlu ditempuh
seorang guru untuk meningkatkan kompetensi sosial emosionalnya sebelum belajar
mengenai coaching.
Selain itu, dalam pembelajaran sosial emosional
seorang guru akan memperoleh pengalaman mengenai mengelola diri yang baik
hingga mampu mengambil keputusan. Salah satu teknik untuk mengembalikan
kesadaran penuh atau (mindfulness)
dapat dilakukan dengan teknik S-T-O-P yang
dapat diterapkan kepada coachee sebelum
melakukan kegiatan coaching. Dengan
demikian coaching akan
terjadi baik dan memampukan coachee dalam
menemukan solusi masalah yang dialami.
- Keterkaitan
Keterampilan Coaching dengan
Pengembangan Kompetensi Sebagai Pemimpin Pembelajaran
Pemimpin pembelajaran yang baik menurut saya
adalah seorang yang memiliki prinsip dan mampu menerapkan paradigma coaching untuk supervisi
akademik. Paradigma coacing dan prinsip coaching untuk supervisi akademik
sangat perlu dimiliki oleh seorang pemimipin pembelajaran untuk dapat melakukan
evaluasi dan refleksi pembelajaran sebagai bahan perbaikan kedepan. Selain itu,
kemampuan coaching seorang pemimpin pembelajaran harus selalu ditingkatkan dan
diasah guna supervisi akademik yang dilakukan.
Melakukan supervisi akademik dengan teknik coaching akan lebih
efektif dibandingkan dengan teknik lain. Karena dalam coaching seorang coachee mampu menemukan
potensi positif dalam diri maupun potensi lain disekeliling sebagai solusi atas
masalah yang dihadapi. Suatu hal yang muncul atas inisitif atau hasil pemikiran
reflektif seseorang biasanya lebih bertahan lama atau berjangka panjang dan
memberikan kesan makna yang mendalam ketika berhasil diterapkan.
B. REFLEKSI
- Peran saya sebagai seorang coach di
sekolah dan keterkaitannya dengan materi sebelumnya di paket modul 2 yaitu
pembelajaran berdiferensiasi dan pembelajaran sosial dan emosi adalah:
Di sekolah, saya memainkan
banyak peran. Utamanya sebagai seorang guru mata pelajaran kimia. Oleh kepala
sekolah, saya diberi amanah sebagai Wakil kepala sekolah bidang kepeserta didikan
sekaligus Pembina Osis. Saya juga diberi tanggung jawab sebagai Kepala
Laboratorium Kimia dan Nanoteknologi. Semua tugas dan peran tersebut, saya
jalani dengan senang hati dan semampu yang saya bisa lakukan. Peran tersebut akan
bertambah jika sekolah mengadakan kegiatan tahunan sekolah seperti PPDB,
Penerimaan Peserta Didik Baru, Matrikulasi, Ujian sekolah, Ulang tahun sekolah
dan Wisuda/Pelepasan Peserta Didik Kelas XII. Biasanya saya ditunjuk sebagai
ketua panitia atau Koordinator Tim.
Apakah dalam menjalankan tugas, peran dan fungsi
saya sebagai seorang guru dan dengan banyak tugas tambahan saya tidak mengalami
hambatan dan kesulitan??.
Dalam keseharian menjalankan
tugas dan peran tersebut. Tentu tidak semua berjalan lancar. Banyak kendala dan
hambatan yang ditemui. Baik di dalam kelas maupun di lingkungan sekolah. Dengan
peserta didik ataupun dengan rekan sejawat.
Kendala dan hambatan yang
ditemukan, bersama tim berusaha dicari jalan keluarnya. Karena tidak menampik
juga bahwa, antar peserta didik, antara guru dan peserta didik serta antar
rekan sejawat pernah berselisih paham. Kondisi berselisih paham tersebut tentu
tidak berlangsung lama. Karena semua menyadari kekeliruan, dan menyadari bahwa
apa yang dilakukan demi kemajuan sekolah.
Sebut saja dalam pembelajaran
di kelas. Saat jam belajar, saya mendapati peserta didik melakukan aksi diam 1 kelas. Ditanya diam,
disuruh bertanya, disuruh maju kedepan kelas, tetap diam. Saya jadi bertanya
mengapa semua diam?.
Kondisi seperti ini pernah
terjadi di kelas berbeda. Jika sebelumnya saya bereaksi dengan keterdiaman
peserta didik dengan memberi mereka pemanasan diri, lari keliling koridor sekolah,
hormat tiang bendera, memberi mereka pencerahan dan berakhir dengan refleksi
diri saya dan peserta didik di kelas. Maka setelah mendapat pembelajaran CGP modul
2, saya merasa perlu merubah pola itu. Menerapkan Budaya positif, membuat
kesepakatan dan keyakinan kelas, menerapkan pembelajaran berdiferensiasi dan
menerapkan pembelajaran sosial emosional. Tidak hanya diterapkan di kelas saat
terjadi “gangguan” belajar tetapi juga saya coba terapkan di Laboratorium, dengan
rekan sejawat, rekan 1 tim dan di lingkungan sekolah. Dan itu yang sekarang
telah dan sedang saya lakukan.
Kembali ke temuan di kelas. Peserta
didik melakukan “aksi diam” ketika sebagian besar dari mereka belum siap latihan
KD dari jadwal yang sudah dijanjikan. Sebagai seorang pendidik tentu saya tidak
akan membiarkan ini terjadi, berlangsung lama dan ber ulang. Maka saya
melakukan pendekatan pembelajaran dengan berkolaborasi dan bermitra dengan
rekan sejawat dan peserta didik, dalam berbagai cara demi dapat mengatasi
hambatan dalam belajar di kelas dan saya menjadi pribadi yang lebih baik lagi,
yakni:
1. Melakukan proses
coaching. Di awali dengan rekan sejawat ( baik rekan guru mapel lain, dengan
wali kelasnya, dengan SAnya dan dengan pengasuh asramanya). Dimana saya
bertindak sebagai coachee. Orang yang perlu dibantu untuk mencapai kondisi maju
dalam pemelajaran di kelasnya. Sekaligus melatih diri sesbelum saya melakukan
peran berbeda sebagai seorang seorang coach bagi peserta didik saya di kelas.
2. Merefleksi diri
dengan pendekatan Sosial Emosional, dengan Teknik STOP dan Mindfullness. Saya memposisikan
diri saya adalah seorang guru yang sadar diri akan kekeliruannya, berusaha memperbaiki
diri, belajar menerima kritik dan masukan dari peserta didik maupun rekan
sejawat dari hasil proses coaching yang dilakukan dengan rekan sejawat
sebelumnya (Kesadaran social dan kemampuan berelaksi). Hingga akhirnya saya
dapat mengambil sebuah kesimpulan yang bertanggung jawab. Tentang apa yang
harus saya dan peserta didik lakukan agar dapat memperbaiki permasalahan dalam
belajar tersebut.
3. Melakukan aksi
nyata bersama peserta didik di kelas saya dengan menerapkan pendekatan:
a) Pembelajaran Sosial
Emosional dengan Teknik STOP dan Mindfullness
agar peserta didik juga memiliki pengendalian diri, kesadaran diri, kesadaran sosial,
kemampuan berelasi dengan teman, terlebih guru. Bahwa segala sesuatu harus
didiskusikan dengan baik. Untuk mencari jalan keluar dari permasalahan. Bukan dengan
aksi diam se kelas, hingga peserta didik dapat mengambil sebuah keputusan yang
bertanggung jawab terhadap tindakannya, sekaligus menanyakan kembali keyakinan
kelas yang sudah disepakati bersama. Saya juga melakukan Refleksi diri peserta
didik dengan pendekatan menulis pesan kesan 3 baris setelah pembelajaran
dilakukan. Untuk menggali dan mengetahui, peserta didik yang perlu didorong
untuk maju, peserta didik yang butuh di konseling, dan peserta didik yang perlu
dimotivasi). Dan dari penerapan pembelajaran sosial emosional, mindfullnes dan
refleksi diri ini dilakukan oleh peserta didik di kelas, saya dapat mengetahui bahwa
alasan “aksi diam” yang peserta didik lakukan adalah karena mereka tidak belajar,
tidak mempersiapkan diri untuk latihan KD pada hari yang telah disepakati bersama
pada pertemuan sebelumnya.
b) Melakukan proses
coaching, terutama pada peserta didik yang menginginkan kemajuan dalam
belajarnya, keluar dari zona nyamannya. Nah peran saya di sini sebagai Coach
yang bertindak sebagai mitra peserta didik. Pendekatan yang saya lakukan
dengan alur TIRTA dan pertanyaan berbobot dengan RASA.
c) Menerapkan
pembelajaran berdiferensiasi di kelas, demi memenuhi kebutuhan belajar peserta
didik yang beragam. Bahwa peserta didik bisa belajar sesuai minat, gaya belajar
dan kebutuhan belajarnya.
Bagaimana persaan saya saat melakukan aksi nyata
saya, baik di lingkungan sekolah maupun di kelas??
Jawabannya, Nano-nano, Banyak
rasa. Pada rekan sejawat, terutama saat saya memposisikan diri sebagai coachee,
ada rekan sejawat yang justru senang saya bercerita, dia cerita balik tentang
dirinya dan masalahnya di kelas, ada juga yang memberikan informasi terkait
kemajuan dan etika peserta didik di sekolah dan asrama. Rasa haru dan senang
saya dapatkan setelah membaca pesan kesan 3 baris setelah pendekatan SE dan
refleksi diri peserta didik terhadap pembelalajaran saya baca. Beberapa peserta
didik, menunjukkan ketertarikannya dengan materi, metode dan cara penyampaian
saya dalam mengajar, mereka jadi termotivasi untuk giat belajar, dan menyadari
kekurangan diri, mau berubah. Namun sedih dan tersentil juga saat peserta didik
memberi penilaian bahwa cara mengajar saya yang cepat, soalnya banyak dan
dikerjakan dengan waktu yang singkat. Diakhir refleksi saya ucapkan rasa
terimakasih karena sudah bersedia menilai saya. Saya juga sampaikan bahwa mereka
harus mengejar gurunya dalam belajar, bila perlu melebihi pengetahuan gurunya
dan sekali waktu bertindak sebagai guru menggantikan saya. Dan soal waktu serta
jumlah butir soal dan dikerjakan dalam waktu yang terbatas, agar mereka siap
kompetisi. Bahwa, tes masuk perguruan tinggi, saat mengikuti lomba ketangkasan,
waktunya lebih singkat lagi dari waktu yang saya sediakan. Tapi di balik itu
semua, tetap saya perhatikan masukan dan kemauan belajar peserta didik. Saya cari
jalan tengahnya.
Proses coaching, dimana saya
bertindak sebagai Coach, pendekatan Sosial emosional, dan pembelajaran
berdiferensiasi ini, selain dalam pembelajaran di kelas, juga saya coba
terapkan di lingkungan sekolah dalam melakukan peran dan tugas saya sebagai
wakil kepala sekolah bidang kepeserta didikan dan Pembina osis.
Sebagai seorang coach di
sekolah, peran saya adalah membantu guru dan peserta didik dalam mencapai
tujuan pembelajaran mereka. Saya dapat membantu guru dalam mengembangkan
strategi pembelajaran yang berfokus pada pembelajaran berdiferensiasi dan
pembelajaran sosial dan emosi.
Dalam pembelajaran
berdiferensiasi, saya dapat membantu guru dalam mengidentifikasi kebutuhan
belajar individu peserta didik dan memberikan dukungan untuk mengembangkan
rencana pembelajaran yang disesuaikan dengan kebutuhan tersebut. Saya dapat
membantu guru dalam merancang aktivitas dan tugas yang memungkinkan peserta
didik dengan berbagai tingkat kemampuan untuk belajar dan berkembang.
Sedangkan dalam pembelajaran
sosial dan emosi, saya dapat membantu guru dalam mengembangkan strategi yang
mempromosikan keterlibatan sosial dan emosi peserta didik dalam proses
pembelajaran. Saya dapat membantu guru dalam mengembangkan keterampilan sosial
dan emosi peserta didik, seperti kemampuan untuk bekerja sama, berkomunikasi
dengan baik, mengelola emosi, dan memecahkan masalah secara efektif.
Sebagai coach, saya dapat
membantu guru dalam mengintegrasikan pembelajaran berdiferensiasi dan
pembelajaran sosial dan emosi ke dalam kurikulum dan kegiatan kelas. Saya juga
dapat membantu guru dalam mengevaluasi efektivitas strategi pembelajaran mereka
dan memberikan umpan balik yang berguna untuk meningkatkan praktik pembelajaran
mereka.
- Keterkaitan keterampilan coaching dengan
pengembangan kompetensi sebagai pemimpin pembelajaran
Pembelajaran yang efektif dan
berkelanjutan memerlukan peran aktif dari berbagai pihak, termasuk guru, peserta
didik, dan pemimpin pembelajaran. Sebagai
pemimpin pembelajaran, harus mampu mengelola dan mengarahkan proses pembelajaran yang
efektif dan membantu peserta didik mencapai tujuan pembelajaran mereka. Mampu menjadi
supervisor bagi rekan sejawatnya yankni menjadi coach bagi guru
lain.