Rabu, 29 Maret 2023

Coaching dalam Supervisi Akademik

(Pembelajaran Berdiferensiasi, Pembelajaran Sosial Emosional dan Peran Guru sebagai Pemimpin Pembelajaran)

Oleh: Welly Julita, M.TPd




A.   KESIMPULAN

Ø  Pembelajaran Coaching untuk Supervisi Akademik

Seorang guru penggerak harus mampu menjalankan perannya. Peran yang dimaksud adalah: 1) Menjadi Pemimpin Pembelajaran, 2) Menjadi Coach Bagi Guru Lain, 3) Mendorong kolaborasi, 4) Mewujudkan Kepemimpinan Murid (Student Agency), 5) Menggerakkan Komunitas Praktisi. Lima peran guru penggerak yang sejalan dan selaras dengan modul 2.3 Coaching untuk supervisi akademik adalah peran yang ke-2 yaitu menjadi coach bagi guru lain.

Supervisi akademik di sekolah sering diasumsikan sebagai suatu kegiatan observasi  atau penilaian terhadap kinerja guru. Sehingga kata supervisi identik menjadi sebuah kegiatan kekurangan guru dan guru merasa terbebani ketika guru tersebut disupervisi.

Coaching didefinisikan sebagai sebuah proses kolaborasi yang berfokus pada solusi, berorientasi pada hasil dan sistematis, dimana coach memfasilitasi peningkatan atas performa kerja, pengalaman hidup, pembelajaran diri, dan pertumbuhan pribadi dari coachee (Grant, 1999). Sedangkan Whitmore (2003) mendefinisikan coaching sebagai kunci pembuka potensi seseorang untuk untuk memaksimalkan kinerjanya.  Sejalan dengan pendapat para ahli tersebut, International Coach Federation (ICF) mendefinisikan coaching sebagai “…bentuk kemitraan bersama klien (coachee) untuk memaksimalkan potensi pribadi dan profesional yang dimilikinya melalui proses yang menstimulasi dan mengeksplorasi pemikiran dan proses kreatif.”

Beberapa defisini mengenai coaching di atas dapat saya simpulkan bahwa coaching merupakan sebuah kegiatan untuk mencapai kondisi kemajuan, coaching meningkatkan kompetensi personal dan profesional, coaching bukan kegiatan memberi tahu, melainkan kegiatan menanya (asking) untuk membangkitkan motivasi (belum mau menjadi mau, belum sadar menjadi sadar). Seorang coach dalam kegiatan coaching menggali dan memotivasi solusi dari masalah yang dialami coachee. Kegiatan coaching diharapkan coachee menemukan solusi dari masalah yang dialami dengan kembali sadar dan tanpa ajakan maupun paksaan dari seorang coach (mandiri).

Ø  Paradigma, Prinsip, Kompetensi Inti Coaching

Agar menjadi seorang coach yang baik seorang guru harus menerapkan dan memiliki pemikiran dalam beberapa hal, diantaranya adalah paradigma berfikir coaching dan prinsip coaching.

Ø  Paradigma berfikir coaching;

  1. Fokus pada coachee/rekan yang akan dikembangkan,
  2. Bersikap terbuka dan ingin tahu,
  3. Memiliki kesadaran diri yang kuat,
  4. Mampu melihat peluang baru dan masa depan

Ø  Prinsip coaching

  1. Kemitraan
  2. Proses kreatif
  3. Memaksimalkan potensi

Selain kedua hal diatas yang perlu dimiliki dan diterapkan, untuk dapat melakukan proses coaching dengan baik seorang guru harus memiliki 3 kompetensi inti coaching yang ada yaitu:

  1. Kehadiran Penuh/Presence

Kehadiran penuh/presence adalah kemampuan untuk bisa hadir utuh bagi coachee (coaching presence) sehingga badan, pikiran, hati selaras saat sedang melakukan percakapan coaching.  Kehadiran penuh ini adalah bagian dari kesadaran diri yang akan membantu munculnya paradigma berpikir dan kompetensi lain saat kita melakukan percakapan coaching.

  1. Mendengarkan Aktif

Salah satu keterampilan utama dalam coaching adalah keterampilan mendengarkan dengan aktif atau sering kita sebut dengan menyimak.  Seorang coach yang baik akan mendengarkan lebih banyak dan lebih sedikit berbicara.  Dalam percakapan coaching, fokus dan pusat komunikasi adalah pada diri coachee, yakni mitra bicara.  Dalam hal ini, seorang coach harus dapat mengesampingkan agenda pribadi atau apa yang ada di pikirannya termasuk penilaian terhadap coachee.

3.    Mengajukan Pertanyaan Berbobot

Dalam melakukan percakapan coaching ketrampilan kunci lainnya adalah mengajukan pertanyaan dengan tujuan tertentu atau pertanyaan berbobot.  Pertanyaan yang diajukan seorang coach diharapkan menggugah orang untuk berpikir dan dapat menstimulasi pemikiran coachee, memunculkan hal-hal yang mungkin belum terpikirkan sebelumnya, mengungkapkan emosi atau nilai dalam diri dan yang dapat mendorong coachee untuk membuat sebuah aksi bagi pengembangan diri dan kompetensi. Pertanyaan berbobot kepada coachee adalah merupakan hasil dari mendengarkan aktif yaitu R-A-S-A. RASA merupakan akronim dari ReceiveAppreciateSummarize, dan Ask.

Ø  Alur Percakapan T-I-R-T-A

TIRTA dikembangkan dari satu model umum coaching yang dikenal sangat luas dan telah banyak diaplikasikan, yaitu GROW model. 

TIRTA dapat dijelaskan sebagai berikut:

1.     Tujuan Umum (Tahap awal dimana kedua pihak coach dan coachee menyepakati tujuan pembicaraan yang akan berlangsung. Idealnya tujuan ini datang dari coachee)

2.    Identifikasi (Coach melakukan penggalian dan pemetaan situasi yang sedang dibicarakan, dan menghubungkan dengan fakta-fakta yang ada pada saat sesi)

3.    Rencana Aksi (Pengembangan ide atau alternatif solusi untuk rencana yang akan dibuat)

4.    TAnggungjawab (Membuat komitmen atas hasil yang dicapai dan untuk langkah selanjutnya).

Ø  Keterkaitan Coaching dengan Pembelajaran Berdiferensiasi Dan Pembelajaran Soial Emosional

Setelah mempelajari modul ini, saya menjadi semakin tercerahkan dan termotivasi untuk menerapkan prinsip coaching dalam membantu rekan sejawat untuk menemukan solusi atas permasalahan yang dihadapi. Saya meyakini bahwa dengan menerapkan paradigma berfikir coaching  dalam penyelesaian masalah yang dihadapi rekan sejawat, mereka akan lebih terbuka, tidak merasa malu menguraikan permasalahan yang dihadapi dan merefleksi diri.

Selanjutnya adalah keterkaitan coaching dengan pembelajaran pada modul sebelumnya.

  1. Keterkaitan coaching degan pembelajaran berdiferensiasi

Pembelajaran berdiferensiasi adalah serangkaian keputusan masuk akal (common sense) yang dibuat oleh guru yang berorientasi kepada kebutuhan murid. Sesuai dengan definisi pembelajaran berdiferensiasi tersebut dapat diasumsikan bahwa paradigma coaching dan prinsip coaching dapat diterapkan untuk menyelesaikan permasalahan pembelajaran. Selain itu dengan menerapkan coaching sebagai sebuah pendekatan pembelajaran untuk memenuhi kebutuhan belajar murid adalah suatu hal yang dapat dilakukan dan efektif untuk mencapai hasil yang diinginkan.

Untuk menyusun dan melaksanakan proses pembelajaran, guru akan mengarahkan murid untuk menemukan, menentukan/memilih kebutuhan belajarnya. Murid dimampukan untuk dapat belajar sesuai dengan gaya belajar, kemampuan belajar, bakat dan minat yang dimiliki. Dengan demikian pembelajaran dapat berjalan baik dan murid merasa nyaman dengan proses belajar yang mereka lakukan.


  1. Keterkaitan coaching dengan pembelajaran sosial emosional

Pembelajaran Sosial dan Emosional (PSE) adalah pembelajaran yang dilakukan secara kolaboratif oleh seluruh komunitas sekolah. Proses kolaborasi ini memungkinkan anak dan orang dewasa di sekolah memperoleh dan menerapkan pengetahuan, keterampilan dan sikap positif mengenai aspek sosial dan emosional agar dapat:

A.   Memahami, menghayati, dan mengelola emosi  (kesadaran diri)

B.    Menetapkan dan mencapai tujuan positif (pengelolaan diri)

C.    Merasakan dan menunjukkan empati kepada orang lain (kesadaran sosial)

D.   Membangun dan mempertahankan hubungan yang positif (keterampilan berelasi)

E.    Membuat keputusan yang bertanggung jawab. (pengambilan keputusan yang bertanggung jawab)

Lima kompetensi sosial emosional yang dipelajari pada modul sebelumnya menjadi sebuah dasar seorang guru agar dapat menguasai tiga kompetensi coaching yang ada. Sehingga pembelajaran sosial emosional sangat penting dan perlu ditempuh seorang guru untuk meningkatkan kompetensi sosial emosionalnya sebelum belajar mengenai coaching.

Selain itu, dalam pembelajaran sosial emosional seorang guru akan memperoleh pengalaman mengenai mengelola diri yang baik hingga mampu mengambil keputusan. Salah satu teknik untuk mengembalikan kesadaran penuh atau (mindfulness) dapat dilakukan dengan teknik S-T-O-P yang dapat diterapkan kepada coachee sebelum melakukan kegiatan coaching. Dengan demikian coaching akan terjadi baik dan memampukan coachee dalam menemukan solusi masalah yang dialami.

  1. Keterkaitan Keterampilan Coaching dengan Pengembangan Kompetensi Sebagai Pemimpin Pembelajaran

Pemimpin pembelajaran yang baik menurut saya adalah seorang yang memiliki prinsip dan mampu menerapkan paradigma coaching untuk supervisi akademik. Paradigma coacing dan prinsip coaching untuk supervisi akademik sangat perlu dimiliki oleh seorang pemimipin pembelajaran untuk dapat melakukan evaluasi dan refleksi pembelajaran sebagai bahan perbaikan kedepan. Selain itu, kemampuan coaching seorang pemimpin pembelajaran harus selalu ditingkatkan dan diasah guna supervisi akademik yang dilakukan.

Melakukan supervisi akademik dengan teknik coaching akan lebih efektif dibandingkan dengan teknik lain. Karena dalam coaching seorang coachee mampu menemukan potensi positif dalam diri maupun potensi lain disekeliling sebagai solusi atas masalah yang dihadapi. Suatu hal yang muncul atas inisitif atau hasil pemikiran reflektif seseorang biasanya lebih bertahan lama atau berjangka panjang dan memberikan kesan makna yang mendalam ketika berhasil diterapkan.

B.   REFLEKSI

  1. Peran saya sebagai seorang coach di sekolah dan keterkaitannya dengan materi sebelumnya di paket modul 2 yaitu pembelajaran berdiferensiasi dan pembelajaran sosial dan emosi adalah:

Di sekolah, saya memainkan banyak peran. Utamanya sebagai seorang guru mata pelajaran kimia. Oleh kepala sekolah, saya diberi amanah sebagai Wakil kepala sekolah bidang kepeserta didikan sekaligus Pembina Osis. Saya juga diberi tanggung jawab sebagai Kepala Laboratorium Kimia dan Nanoteknologi. Semua tugas dan peran tersebut, saya jalani dengan senang hati dan semampu yang saya bisa lakukan. Peran tersebut akan bertambah jika sekolah mengadakan kegiatan tahunan sekolah seperti PPDB, Penerimaan Peserta Didik Baru, Matrikulasi, Ujian sekolah, Ulang tahun sekolah dan Wisuda/Pelepasan Peserta Didik Kelas XII. Biasanya saya ditunjuk sebagai ketua panitia atau Koordinator Tim.

Apakah dalam menjalankan tugas, peran dan fungsi saya sebagai seorang guru dan dengan banyak tugas tambahan saya tidak mengalami hambatan dan kesulitan??.

Dalam keseharian menjalankan tugas dan peran tersebut. Tentu tidak semua berjalan lancar. Banyak kendala dan hambatan yang ditemui. Baik di dalam kelas maupun di lingkungan sekolah. Dengan peserta didik ataupun dengan rekan sejawat.

Kendala dan hambatan yang ditemukan, bersama tim berusaha dicari jalan keluarnya. Karena tidak menampik juga bahwa, antar peserta didik, antara guru dan peserta didik serta antar rekan sejawat pernah berselisih paham. Kondisi berselisih paham tersebut tentu tidak berlangsung lama. Karena semua menyadari kekeliruan, dan menyadari bahwa apa yang dilakukan demi kemajuan sekolah.

Sebut saja dalam pembelajaran di kelas. Saat jam belajar, saya mendapati peserta didik  melakukan aksi diam 1 kelas. Ditanya diam, disuruh bertanya, disuruh maju kedepan kelas, tetap diam. Saya jadi bertanya mengapa semua diam?.

Kondisi seperti ini pernah terjadi di kelas berbeda. Jika sebelumnya saya bereaksi dengan keterdiaman peserta didik dengan memberi mereka pemanasan diri, lari keliling koridor sekolah, hormat tiang bendera, memberi mereka pencerahan dan berakhir dengan refleksi diri saya dan peserta didik di kelas. Maka setelah mendapat pembelajaran CGP modul 2, saya merasa perlu merubah pola itu. Menerapkan Budaya positif, membuat kesepakatan dan keyakinan kelas, menerapkan pembelajaran berdiferensiasi dan menerapkan pembelajaran sosial emosional. Tidak hanya diterapkan di kelas saat terjadi “gangguan” belajar tetapi juga saya coba terapkan di Laboratorium, dengan rekan sejawat, rekan 1 tim dan di lingkungan sekolah. Dan itu yang sekarang telah dan sedang saya lakukan.

Kembali ke temuan di kelas. Peserta didik melakukan “aksi diam” ketika sebagian besar dari mereka belum siap latihan KD dari jadwal yang sudah dijanjikan. Sebagai seorang pendidik tentu saya tidak akan membiarkan ini terjadi, berlangsung lama dan ber ulang. Maka saya melakukan pendekatan pembelajaran dengan berkolaborasi dan bermitra dengan rekan sejawat dan peserta didik, dalam berbagai cara demi dapat mengatasi hambatan dalam belajar di kelas dan saya menjadi pribadi yang lebih baik lagi, yakni:

1.     Melakukan proses coaching. Di awali dengan rekan sejawat ( baik rekan guru mapel lain, dengan wali kelasnya, dengan SAnya dan dengan pengasuh asramanya). Dimana saya bertindak sebagai coachee. Orang yang perlu dibantu untuk mencapai kondisi maju dalam pemelajaran di kelasnya. Sekaligus melatih diri sesbelum saya melakukan peran berbeda sebagai seorang seorang coach bagi peserta didik saya di kelas.

2.    Merefleksi diri dengan pendekatan Sosial Emosional, dengan Teknik STOP dan Mindfullness. Saya memposisikan diri saya adalah seorang guru yang sadar diri akan kekeliruannya, berusaha memperbaiki diri, belajar menerima kritik dan masukan dari peserta didik maupun rekan sejawat dari hasil proses coaching yang dilakukan dengan rekan sejawat sebelumnya (Kesadaran social dan kemampuan berelaksi). Hingga akhirnya saya dapat mengambil sebuah kesimpulan yang bertanggung jawab. Tentang apa yang harus saya dan peserta didik lakukan agar dapat memperbaiki permasalahan dalam belajar tersebut.

3.    Melakukan aksi nyata bersama peserta didik di kelas saya dengan menerapkan pendekatan:

a)    Pembelajaran Sosial Emosional dengan Teknik STOP dan  Mindfullness agar peserta didik juga memiliki pengendalian diri, kesadaran diri, kesadaran sosial, kemampuan berelasi dengan teman, terlebih guru. Bahwa segala sesuatu harus didiskusikan dengan baik. Untuk mencari jalan keluar dari permasalahan. Bukan dengan aksi diam se kelas, hingga peserta didik dapat mengambil sebuah keputusan yang bertanggung jawab terhadap tindakannya, sekaligus menanyakan kembali keyakinan kelas yang sudah disepakati bersama. Saya juga melakukan Refleksi diri peserta didik dengan pendekatan menulis pesan kesan 3 baris setelah pembelajaran dilakukan. Untuk menggali dan mengetahui, peserta didik yang perlu didorong untuk maju, peserta didik yang butuh di konseling, dan peserta didik yang perlu dimotivasi). Dan dari penerapan pembelajaran sosial emosional, mindfullnes dan refleksi diri ini dilakukan oleh peserta didik di kelas, saya dapat mengetahui bahwa alasan “aksi diam” yang peserta didik lakukan adalah karena mereka tidak belajar, tidak mempersiapkan diri untuk latihan KD pada hari yang telah disepakati bersama pada pertemuan sebelumnya.

b)   Melakukan proses coaching, terutama pada peserta didik yang menginginkan kemajuan dalam belajarnya, keluar dari zona nyamannya. Nah peran saya di sini sebagai Coach yang bertindak sebagai mitra peserta didik. Pendekatan yang saya lakukan dengan alur TIRTA dan pertanyaan berbobot dengan RASA.

c)    Menerapkan pembelajaran berdiferensiasi di kelas, demi memenuhi kebutuhan belajar peserta didik yang beragam. Bahwa peserta didik bisa belajar sesuai minat, gaya belajar dan kebutuhan belajarnya.

Bagaimana persaan saya saat melakukan aksi nyata saya, baik di lingkungan sekolah maupun di kelas??

Jawabannya, Nano-nano, Banyak rasa. Pada rekan sejawat, terutama saat saya memposisikan diri sebagai coachee, ada rekan sejawat yang justru senang saya bercerita, dia cerita balik tentang dirinya dan masalahnya di kelas, ada juga yang memberikan informasi terkait kemajuan dan etika peserta didik di sekolah dan asrama. Rasa haru dan senang saya dapatkan setelah membaca pesan kesan 3 baris setelah pendekatan SE dan refleksi diri peserta didik terhadap pembelalajaran saya baca. Beberapa peserta didik, menunjukkan ketertarikannya dengan materi, metode dan cara penyampaian saya dalam mengajar, mereka jadi termotivasi untuk giat belajar, dan menyadari kekurangan diri, mau berubah. Namun sedih dan tersentil juga saat peserta didik memberi penilaian bahwa cara mengajar saya yang cepat, soalnya banyak dan dikerjakan dengan waktu yang singkat. Diakhir refleksi saya ucapkan rasa terimakasih karena sudah bersedia menilai saya. Saya juga sampaikan bahwa mereka harus mengejar gurunya dalam belajar, bila perlu melebihi pengetahuan gurunya dan sekali waktu bertindak sebagai guru menggantikan saya. Dan soal waktu serta jumlah butir soal dan dikerjakan dalam waktu yang terbatas, agar mereka siap kompetisi. Bahwa, tes masuk perguruan tinggi, saat mengikuti lomba ketangkasan, waktunya lebih singkat lagi dari waktu yang saya sediakan. Tapi di balik itu semua, tetap saya perhatikan masukan dan kemauan belajar peserta didik. Saya cari jalan tengahnya.

Proses coaching, dimana saya bertindak sebagai Coach, pendekatan Sosial emosional, dan pembelajaran berdiferensiasi ini, selain dalam pembelajaran di kelas, juga saya coba terapkan di lingkungan sekolah dalam melakukan peran dan tugas saya sebagai wakil kepala sekolah bidang kepeserta didikan dan Pembina osis.

Sebagai seorang coach di sekolah, peran saya adalah membantu guru dan peserta didik dalam mencapai tujuan pembelajaran mereka. Saya dapat membantu guru dalam mengembangkan strategi pembelajaran yang berfokus pada pembelajaran berdiferensiasi dan pembelajaran sosial dan emosi.

Dalam pembelajaran berdiferensiasi, saya dapat membantu guru dalam mengidentifikasi kebutuhan belajar individu peserta didik dan memberikan dukungan untuk mengembangkan rencana pembelajaran yang disesuaikan dengan kebutuhan tersebut. Saya dapat membantu guru dalam merancang aktivitas dan tugas yang memungkinkan peserta didik dengan berbagai tingkat kemampuan untuk belajar dan berkembang.

Sedangkan dalam pembelajaran sosial dan emosi, saya dapat membantu guru dalam mengembangkan strategi yang mempromosikan keterlibatan sosial dan emosi peserta didik dalam proses pembelajaran. Saya dapat membantu guru dalam mengembangkan keterampilan sosial dan emosi peserta didik, seperti kemampuan untuk bekerja sama, berkomunikasi dengan baik, mengelola emosi, dan memecahkan masalah secara efektif.

Sebagai coach, saya dapat membantu guru dalam mengintegrasikan pembelajaran berdiferensiasi dan pembelajaran sosial dan emosi ke dalam kurikulum dan kegiatan kelas. Saya juga dapat membantu guru dalam mengevaluasi efektivitas strategi pembelajaran mereka dan memberikan umpan balik yang berguna untuk meningkatkan praktik pembelajaran mereka.

 

    1. Keterkaitan keterampilan coaching dengan pengembangan kompetensi sebagai pemimpin  pembelajaran

Pembelajaran yang efektif dan berkelanjutan memerlukan peran aktif dari berbagai pihak, termasuk guru, peserta didik, dan pemimpin pembelajaran.  Sebagai pemimpin pembelajaran, harus mampu mengelola dan mengarahkan proses pembelajaran yang efektif dan membantu peserta didik mencapai tujuan pembelajaran mereka. Mampu menjadi supervisor bagi rekan sejawatnya yankni menjadi coach bagi guru lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar